Sabtu, 11 Mei 2013

PAHLAWAN SEPULUH SENTIMETER

#sebuah cerpen

         Hujan. Jam setengah satu siang hari Jumat hujan dan aku lagi galau sendiri di depan kelas. Tak tentu apa yang kupikirkan. Masih bingung. Kelas masih berantakan, mading belum selesai. Padahal penilaiannya besok. Kelas 8.7 emang kelas yang paling lelet. Paling males sama yang namanya “Penilaian Kelas”. Kebersihan, dinilai. Kelengkapan, dinilai. Mading? So pasti! Tidak semua anak lembur mading dan bersih – bersih kelas hari ini. Hanya sebagian. Namanya juga habis Class meeting, capek kan? Sebagian dari mereka pulang dengan beragam alasan. Ada yang capek lah, ngerjain tugas lah. Ahh.. biarlah. Yang penting masih ada makhluk hidup tersisa di sini.
          Lama banget anak putra sholat Jumatnya. Di sini cuma ada aku, Fia, Inda, Fitri, Tiwi, Eni, dan Ana. Nunggu yang putra sambil dengerin Eni sama Ana nyanyi “Ayah” plus diramein sama suara percikan air hujan yang jatuh di atas murninya coklat tanah Tuhan. Jam 1 siang, semua makhluk hidup yang tersisa sudah berkumpul. Yang putra cuma tiga. Fian, Ari, sama Tofa. Anak cowok sama Fia buat bunga dari kertas sebagai persembahan besok. Yang lain bersihin kelas.
          “Eh, gimana kalau kelas besok kita kasih apa gitu yang bisa buat kelas kita lebih hidup” usul Eni.
          “Hidup? Emang punya nyawa?” candaku.
          “Ya enggak gitu, Yola. Maksud Eni itu ya kita kasih bunga, apa yang lain gitu biar kelasnya lebih cantik!” panjang lebar penjelasan dari Ana. Serius.
          “Bunga? Tuh, di kelas 8.2” aku males serius kali ini.
          “Ya Tuhan.. tanaman, Yola cantik…” rayu Fitri.
          Cantik? Serius tuh? Pipiku merah dibilang aku cantik. “Oh.. tanaman to? Bilang donk dari tadi!” aku mulai agak senyum dibilang cantik.
          “Iiih.. Yola. Dibilang cantik baru nyantol” ucap Eni sinis.
          Aku meringis di depan mereka.
          Suasana hening seketika. Musik “Zunea - Zunea” oleh Cleopatra Stratan yang tadinya memenuhi sudut ruangan sudah selesai diputar.
          “Gimana kalau aku bawain aja? Di rumahku banyak. Tapi kecil – kecil sih.. hehe” aku mulai mengangkat bicara. Tapi lirih.
          “Kecil? Pas banget!!” suara Eni cetar dan terpampang nyata banget. Menggelegar sampai mana – mana. Seolah – olah semua penghuni planet di Milky Way harus tau kalau apa yang kukatakan tadi sependapat sama pemikiran Eni.
          “Ya Tuhan.. pelan aja Enii, sayang” Fitri nggombal.
          “Terus kenapa kalau kecil?” sahutku.
          “Gue harus ngrubah nama Jokowi jadi JokoWOW gitu?” Ana gila.
          “Ana, itu nggak perlu, nggak usah, dan nggak penting! Ya dibawa lah, Yolaaa..” jawab Eni sinis. Lagi.
          “Aku harus bawa berapa? Dikit? Banyak? Pas pasan? Apa banyak banget?” pertanyaanku berjejer panjang bagai kereta.
          “Buat apa banyak – banyak? Satu aja cukup kok, La. Iya nggak, En?” tanya Tiwi kepada Eni.
          “Iya, satu ajalah, La”
          Bersih – bersih kelas sudah selesai. Mading? Tinggal ngasih artikel. Sekarang mari kita tengok bunga kertas anak putra.
          “Gimana? Udah selesai?” tanyaku ke mereka.
          “Udah, kok. Tinggal dikit” jawab Fia singkat.
          “La, aku laper. Beli makan gih sana..” suara Ari lemas kelaparan.
          “Iya, aku juga” kata Inda menyusul.
          “Ya udah, deh. Nih uangnya kalian beli terserahlah apa. Yang penting bisa bikin kenyang. Mumpung hujan agak reda. Beli cepet gih sana.. keburu hujan lagi” kataku ke Ana sambil nyodorin kertas warna biru. 50.000.
          “Oke. Beli yok!” ajak Ana.
          “Ayok!” jawab yang lain serempak.
          Di situ yang cewek cuma aku sama Fia.
          “Ini serius dikasih langsung ke walinya sendiri – sendiri?” aku angkat bicara.
          “He? Gila! Enggak mau aku!” jawab Tofa 100% nolak!
          “Iya, nggak setuju aku. Apaan tuh? Enggak.. enggak.. malu!” jawab Fian sependapat dengan Tofa.
          “Haa.. nggak setuju banget aku sama yang begituan!” cowok terakhir ini sama sependapat dengan cowok dua yang awal. Ari.
          “Iya, deh.. nggak jadi” jawab Fia mendesah menyerah.
          Aku hanya bisa melepas nafas panjang dan menghirup aroma wangi air hujan. Sambil nunggu makanan, aku bantu anak – anak yang lain nerusin bunga kertas. Lama banget mereka.
          “Eh, iyaa. Eni tadi usul kalau kelas kita dikasih tanaman besok. Tapi kecil. Setuju nggak?” ucapku sambil sedikit ngrayu.
          “Aku setuju banget!” jawab Fia tegas.
          “Ngikut..” Ari, Tofa, Fian menjawab serempak tapi lemas.
          Hening lagi. I hate this moment!
          “Mana tuh anak? Lama bener” rintih Ari yang lagi kelaparan.
          Tak lama setelah itu, datanglah gerombolan itu. “Alhamdulillah.. akhirnya!” batinku dalam hati.
          Makan selesai. Time for home!
***
          Paginya aku sampai sekolah agak siang. Kulihat kelas. Jauh lebih baik dari kemarin. Aku berangkat dengan menenteng sebuah tas kresek berisi tanaman kecil yang tingginya kurang lebih hanya 10 cm. Kuletakkan di atas meja guru. Terlihat lebih cantik. Sempurna.
          Aku jadi MC di upacara penyerahan penghargaan hari ini. Sekaligus penentuan Kelas Terbersih dan Terlengkap, serta mading terbaik. Mimpi kali kelasku dapat penghargaan itu.
          Ternyata bukan mimpi belaka. Memang, madingku bukan yang terbaik. Tapi, untuk golongan kelas 8 kelasku menjadi yang terbersih dan terlengkap. Aku menganga? Ha? Mimpi ya? Kelas ancur nggak karuan jadi yang terbaik? Yang lain kaya apa?
          Dalam pidatonya, Bapak Kepala Sekolah menyampaikan ciri – ciri dari masing – masing kelas terbersih dan terlengkap.
          “… untuk kelas 8.7 yang membuat lebih istimewa adalah perbedaannya dengan kelas yang lain. Mereka ini sadar kalau sekolah kita adalah adiwiyata. Apa yang membuatnya berbeda? Mereka memberi kelas mereka tanaman walau hanya kecil. Hanya sekitar 10 cm. Ya, memang kecil. Tapi sangat berarti! Tepuk tangan..”
          Itulah hari terbaik sementara dalam kelasku. Jadi kelas terbersih. Persembahan hari itu juga alhamdulillah lancar. Wali kelasku terlihat bangga jika dilihat dari pancaran senyum yang dipersembahkan beliau kepada kita. Ya Tuhan.. terimakasih telah melahirkan si “hijau mungil” itu. Kami berjanji akan menjaga hijau amanah – Mu itu.
          Aku memetik pesan berharga dari kenangan manis itu. Betapa baiknya pohon itu walau satu tapi berarti. Walau kecil tapi penuh bakti. Walau sepuluh senti, tapi dialah pahlawan sejati. Terimakasih hijau suci! ***

0 komentar:

Posting Komentar