#sebuah cerpen
Hujan. Jam setengah satu siang hari Jumat hujan dan aku lagi galau
sendiri di depan kelas. Tak tentu apa yang kupikirkan. Masih bingung. Kelas
masih berantakan, mading belum selesai. Padahal penilaiannya besok. Kelas 8.7
emang kelas yang paling lelet. Paling males sama yang namanya “Penilaian
Kelas”. Kebersihan, dinilai. Kelengkapan, dinilai. Mading? So pasti! Tidak semua anak lembur mading dan bersih – bersih kelas
hari ini. Hanya sebagian. Namanya juga habis Class meeting, capek kan? Sebagian dari mereka pulang dengan
beragam alasan. Ada yang capek lah, ngerjain tugas lah. Ahh.. biarlah. Yang
penting masih ada makhluk hidup tersisa di sini.
Lama banget anak
putra sholat Jumatnya. Di sini cuma ada aku, Fia, Inda, Fitri, Tiwi, Eni, dan
Ana. Nunggu yang putra sambil dengerin Eni sama Ana nyanyi “Ayah” plus diramein
sama suara percikan air hujan yang jatuh di atas murninya coklat tanah Tuhan.
Jam 1 siang, semua makhluk hidup yang tersisa sudah berkumpul. Yang putra cuma
tiga. Fian, Ari, sama Tofa. Anak cowok sama Fia buat bunga dari kertas sebagai
persembahan besok. Yang lain bersihin kelas.
“Eh, gimana kalau
kelas besok kita kasih apa gitu yang bisa buat kelas kita lebih hidup” usul
Eni.
“Hidup? Emang punya
nyawa?” candaku.
“Ya enggak gitu,
Yola. Maksud Eni itu ya kita kasih bunga, apa yang lain gitu biar kelasnya
lebih cantik!” panjang lebar penjelasan dari Ana. Serius.
“Bunga? Tuh, di
kelas 8.2” aku males serius kali ini.
“Ya Tuhan..
tanaman, Yola cantik…” rayu Fitri.
Cantik? Serius tuh?
Pipiku merah dibilang aku cantik. “Oh.. tanaman to? Bilang donk dari tadi!” aku
mulai agak senyum dibilang cantik.
“Iiih.. Yola.
Dibilang cantik baru nyantol” ucap Eni sinis.
Aku meringis di
depan mereka.
Suasana hening
seketika. Musik “Zunea - Zunea” oleh Cleopatra Stratan yang tadinya memenuhi
sudut ruangan sudah selesai diputar.
“Gimana kalau aku
bawain aja? Di rumahku banyak. Tapi kecil – kecil sih.. hehe” aku mulai
mengangkat bicara. Tapi lirih.
“Kecil? Pas
banget!!” suara Eni cetar dan terpampang nyata banget. Menggelegar sampai mana
– mana. Seolah – olah semua penghuni planet di Milky Way harus tau kalau apa yang kukatakan tadi sependapat sama
pemikiran Eni.
“Ya Tuhan.. pelan
aja Enii, sayang” Fitri nggombal.
“Terus kenapa kalau
kecil?” sahutku.
“Gue harus ngrubah
nama Jokowi jadi JokoWOW gitu?” Ana gila.
“Ana, itu nggak
perlu, nggak usah, dan nggak penting! Ya dibawa lah, Yolaaa..” jawab Eni sinis.
Lagi.
“Aku harus bawa
berapa? Dikit? Banyak? Pas pasan? Apa banyak banget?” pertanyaanku berjejer
panjang bagai kereta.
“Buat apa banyak –
banyak? Satu aja cukup kok, La. Iya nggak, En?” tanya Tiwi kepada Eni.
“Iya, satu ajalah,
La”
Bersih – bersih
kelas sudah selesai. Mading? Tinggal ngasih artikel. Sekarang mari kita tengok bunga
kertas anak putra.
“Gimana? Udah
selesai?” tanyaku ke mereka.
“Udah, kok. Tinggal
dikit” jawab Fia singkat.
“La, aku laper.
Beli makan gih sana..” suara Ari lemas kelaparan.
“Iya, aku juga”
kata Inda menyusul.
“Ya udah, deh. Nih
uangnya kalian beli terserahlah apa. Yang penting bisa bikin kenyang. Mumpung
hujan agak reda. Beli cepet gih sana.. keburu hujan lagi” kataku ke Ana sambil
nyodorin kertas warna biru. 50.000.
“Oke. Beli yok!”
ajak Ana.
“Ayok!” jawab yang
lain serempak.
Di situ yang cewek
cuma aku sama Fia.
“Ini serius dikasih
langsung ke walinya sendiri – sendiri?” aku angkat bicara.
“He? Gila! Enggak
mau aku!” jawab Tofa 100% nolak!
“Iya, nggak setuju
aku. Apaan tuh? Enggak.. enggak.. malu!” jawab Fian sependapat dengan Tofa.
“Haa.. nggak setuju
banget aku sama yang begituan!” cowok terakhir ini sama sependapat dengan cowok
dua yang awal. Ari.
“Iya, deh.. nggak
jadi” jawab Fia mendesah menyerah.
Aku hanya bisa
melepas nafas panjang dan menghirup aroma wangi air hujan. Sambil nunggu
makanan, aku bantu anak – anak yang lain nerusin bunga kertas. Lama banget
mereka.
“Eh, iyaa. Eni tadi
usul kalau kelas kita dikasih tanaman besok. Tapi kecil. Setuju nggak?” ucapku
sambil sedikit ngrayu.
“Aku setuju
banget!” jawab Fia tegas.
“Ngikut..” Ari,
Tofa, Fian menjawab serempak tapi lemas.
Hening lagi. I hate this moment!
“Mana tuh anak?
Lama bener” rintih Ari yang lagi kelaparan.
Tak lama setelah
itu, datanglah gerombolan itu. “Alhamdulillah.. akhirnya!” batinku dalam hati.
Makan selesai. Time for home!
***
Paginya aku sampai
sekolah agak siang. Kulihat kelas. Jauh lebih baik dari kemarin. Aku berangkat
dengan menenteng sebuah tas kresek berisi tanaman kecil yang tingginya kurang
lebih hanya 10 cm. Kuletakkan di atas meja guru. Terlihat lebih cantik.
Sempurna.
Aku jadi MC di
upacara penyerahan penghargaan hari ini. Sekaligus penentuan Kelas Terbersih
dan Terlengkap, serta mading terbaik. Mimpi kali kelasku dapat penghargaan itu.
Ternyata bukan
mimpi belaka. Memang, madingku bukan yang terbaik. Tapi, untuk golongan kelas 8
kelasku menjadi yang terbersih dan terlengkap. Aku menganga? Ha? Mimpi ya?
Kelas ancur nggak karuan jadi yang terbaik? Yang lain kaya apa?
Dalam pidatonya,
Bapak Kepala Sekolah menyampaikan ciri – ciri dari masing – masing kelas
terbersih dan terlengkap.
“… untuk kelas 8.7
yang membuat lebih istimewa adalah perbedaannya dengan kelas yang lain. Mereka
ini sadar kalau sekolah kita adalah adiwiyata. Apa yang membuatnya berbeda?
Mereka memberi kelas mereka tanaman walau hanya kecil. Hanya sekitar 10 cm. Ya,
memang kecil. Tapi sangat berarti! Tepuk tangan..”
Itulah hari terbaik
sementara dalam kelasku. Jadi kelas terbersih. Persembahan hari itu juga
alhamdulillah lancar. Wali kelasku terlihat bangga jika dilihat dari pancaran
senyum yang dipersembahkan beliau kepada kita. Ya Tuhan.. terimakasih telah
melahirkan si “hijau mungil” itu. Kami berjanji akan menjaga hijau amanah – Mu
itu.
Aku memetik pesan
berharga dari kenangan manis itu. Betapa baiknya pohon itu walau satu tapi
berarti. Walau kecil tapi penuh bakti. Walau sepuluh senti, tapi dialah
pahlawan sejati. Terimakasih hijau suci! ***